dhar321.blogspot.com |
3. Prinsip dan Konsep Dasar Perbankan Syariah
Visi perbankan syariah umumnya adalah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat untuk melakukan investasi dengan system bagi hasil yang adil sesuai prinsip syariah Islam. Memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah misi utama perbankan syariah.
Dengan landasan sebagaimana yang dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka setiap kelembagaan keuangan syariah akan menerapkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
(a). Menjauhkan diri dari unsur riba.
(1). Dihindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka suatu hasil usaha seperti penetapan bunga simpanan atau bunga pinjaman yang dilakukan pada bank konvensional, mengapa ? Periksa surat Luqman ayat 34 :
Intinya : Hanya Allah subhanahu wata'ala sajalah yang mengetahui apa yang akan terjadi esok.
(2). Dihindari penggunaan sistem prosentasi biaya terhadap hutang atau imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipat gandakan secara otomatis hutang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu. Mengapa ? Periksa surat Al‑Imron ayat 130 :
Intinya : Allah subhanahu wata'ala melarang memakan riba berlipat ganda.
(3). Dihindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya (barang yang sama dan sejenis seperti uang rupiah dengan uang rupiah yang masih berlaku) dengan memperoleh kelebihan baik kwantitas maupun kwalitas. Mengapa ? Periksa Hadis Shahih Muslim Bab Riba No. 1551 s/d 1567 :
Intinya : Memperdagangkan/menyewakan barang ribawi dengan imbalan barang yang sama dan sejenis dalam jumlah atau kwalitas yang lebih adalah hukumnya riba.
(4). Dihindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka tambahan atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara suka‑rela seperti penetapan bunga pada bank konvensional. Mengapa ? Periksa terjemah Hadis Shahih Muslim oleh Ma'mur Daud Bab Riba No. 1569 s/d 1572:
Intinya : membayar hutang dengan lebih baik (yaitu diberikan tambahan) seperti yang dicontohkan dalam Hadis, harus atas dasar suka‑rela dan prakarsanya harus datang dari yang punya hutang pada saat jatuh tempo.
(b). Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan.
Dengan mengacu kepada petunjuk Al‑Qur'an surat Al‑Baqarah ayat 275 dan surat An‑Nisaa ayat 29 yang intinya :
Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka;
maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi Islami harus selalu dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip " ada barang/jasa dulu baru ada uang ", sehingga akan mendorong produksi barang/ jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalah‑gunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.
Dalam operasinya, pada sisi pengerahan dana masyarakat lembaga ekonomi Islam menyediakan sarana investasi bagi penyimpan dana dengan sistem bagi hasil dan pada sisi penyaluran dana masyarakat menyediakan fasilitas pembiayaan investasi dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.
(a). Investasi bagi penyimpan dana berarti nasabah yang menyimpan dananya pada bank ini (tabungan mudharabah atau simpanan mudharabah) dianggap sebagai penyedia dana (rabbul mal) akan memperoleh hak bagi hasil dari usaha bank sebagai pengelola dana (mudharib) yang sifat hasilnya tidak tetap dan tidak pasti sesuai dengan besar‑kecilnya hasil usaha bank. Bagi hasil yang diterima penyimpan dana biasanya dihitung sesuai dengan lamanya dana tersebut mengendap dan dikelola oleh bank, bisa satu tahun, bisa satu bulan, bisa satu minggu, bahkan bisa satu hari.
Catatan : prosentasi yang dipergunakan untuk menentukan nisbah/porsi bagi hasil tidak termasuk pengertian tersebut butir 2. Mengapa ? Karena prosentase ini dikenakan terhadap sesuatu yang tidak pasti besarnya yaitu hasil usaha yang dari waktu‑kewaktu selalu berubah.
(b). Pembiayaan investasi ialah pembiayaan baik sepenuhnya (al‑mudharabah) atau sebagian (al‑musyarakah) terhadap suatu usaha yang tidak berbentuk saham. Dana yang ditempatkan, yang sepenuhnya maupun yang sebagian itu tetap menjadi milik bank sehingga pada waktu berakhirnya kontrak, bank berhak memperoleh bagi hasil dari usaha itu sesuai dengan kesepakatan.
Catatan : Karena pembiyaan investasi yang dilakukan bank ini tidak berupa saham dan berjangka waktu terbatas, maka kegiatan ini tidak termasuk katagori penyertaan modal pada suatu perusahan lain yang dilarang undang-undang di Indonesia dilakukan oleh bank.
(c). Dari semua bentuk pembiayaan itu, yang paling disukai sebenarnya adalah Pembiayaan Mudharabah. Konon dari Tarikh (sejarah) Nabi Muhammad SAW dicontohkan adanya sistem Al-mudharabah sebagai sistem penitipan modal yang dikelola Nabi tatkala beliau dipercaya membawa sebagian barang dagangan Siti Khadijah r.a. dari Mekkah ke negeri Syam. Barang dagangan itu boleh dikatakan sebagai modal usaha karena oleh Nabi dijual dan hasilnya dibelikan barang dagangan lainnya untuk dijual lagi di pasar Bushra dinegeri Syam. Nabi melakukan perjalanan (dharb) untuk mencari sebagian karunia Allah. Setelah beberapa lama, Nabi kembali ke Mekkah membawa hasil usahanya dan dilaporkan kepada Siti Khadijah r.a. Harta yang telah dikembangkan itu tentunya dihitung dan dibandingkan dengan harta semula. Harta semula dikembalikan kepada yang empunya, sedang selisihnya antara yang empunya harta (rabbul maal) dengan yang mengelola (mudharib) sesuai dengan kesepakatan semula. Menurut buku Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW yang ditulis oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Penerbit Yayasan Al Hamidy, sebelum Nabi berangkat ke negeri Syam, Siti Khadijah r.a. menjanjikan bagian keuntungan kepada beliau dua kali lebih banyak dari yang biasa diberikan kepada orang Quraisy lainnya.
(d). Al-Mudharabah pada dasarnya dapat dikatagorikan kedalam salah satu bentuk musyarakah (perkongsian). Namun para cendikiawan fiqh Islam meletakkan Al-Mudharabah dalam posisi yang khusus dan memberikan landasan hukum tersendiri, yaitu:
(1) Al-Qur'an Surat Al-Muzammil ayat 20 : "...Dan orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah.", dimana mudharib sebagai entrepeneur adalah sebagian dari orang yang melakukan dharb (perjalanan) untuk mencari karunia Allah SWT. tersebut;
(2) Sunnah sebagaimana diriwayatkan HR. Ibn Majah, dan Majma' Azzawaid, sebagai berikut :
Dari Suhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda :" Tiga perkara didalamnya terdapat keberkatan (1) menjual dengan pembayaran tangguh (2) muqaradhah (nama lain dari mudharabah) (3) mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual". (HR. Ibn Majah).
Diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwasanya Sayyidina Abbas jikalau memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak yang berparu-paru basah. Jikalau menyalahi aturan maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut ke Rasulullah SAW dan diapun memperkenankannya (Majma'Azzawaid, 4/161).
(e). Dari contoh perjalanan Nabi dan Sunnah tersebut diatas dapat ditarik beberapa prinsip sebagai berikut :
(1). Sistem Al-Mudharabah mempertemukan antara yang punya modal (rabbul maal) tetapi tidak ahli berusaha dengan yang ahli berusaha (mudharib) tetapi tidak punya modal.
(2). Sistem Al-Mudharabah didasari atas kepercayaan (trust financing) dimana mudharib haruslah orang yang cukup dikenal ahlaknya dan dapat dipercaya.
(3). Rabbul maal menyediakan 100% modal usaha, umumnya sudah dalam bentuk barang yang siap diperdagangkan atau siap dipakai sebagai modal usaha oleh mudharib, tanpa turut campur rabbul maal baik dalam manajemen maupun operasional.
(4). Sistem Al-Mudharabah mempunyai batas waktu, dimana pada batas waktu yang telah ditetapkan modal awal dikembali-kan dan diadakan perhitungan berapa hasil yang diper-oleh dari pengelolaan modal awal tadi.
(5). Porsi pembagian hasil usaha masing-masing disepakati sebelum diberikan pinjaman modal Al-Mudharabah. Apabila terjadi rugi, maka rabbul maal akan menanggung kerugian modal sedang mudharib menanggung kerugian waktu/tenaga, dan pikirannya.
(6). Pada sistem Al-Mudharabah, robbul maal dapat menerapkan syarat-syarat untuk mengamankan modal yang dipinjamkan kepada mudharib.
(7). Sistem Al-Mudharabah hanya dapat diterapkan pada usaha-usaha yang relatif cepat menghasilkan.
Penerapan prisip-prinsip tersebut diatas pada kelembagaan ekonomi Islam menghasilkan produk-produk Pembiayaan Mudharabah yang akan sangat membantu masyarakat terutama dalam rangka upaya mengentaskan kemiskinan di kota dan pedesaan.
A. Penerapan sistem bagi hasil.
Perbankan dengan sistem bagihasil dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha antara : pemilik dana (shohibul maal) yang menyimpan uangnya dibank, bank selaku pengelola dana (mudharib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha (mudharib).
Pada sisi pengerahan dana masyarakat, shohibul maal berhak atas bagihasil dari usaha bank sesuai dengan porsi yang telah disepakati bersama. Bagihasil yang diterima shohibul maal akan naik-turun secara wajar sesuai dengan keberhasilan usaha bank dalam mengelola dana yang dipercayakan kepadanya. Tidak ada biaya yang perlu digeserkan karena bagihasil bukan konsep biaya.
Bank selaku mudharib harus dapat mengelola dana yang dipercayakan kepadanya dengan hati-hati (prudent) dan memperoleh penghasilan yang maksimal. Dalam mengelola dana ini bank mempunyai empat jenis pendapatan yaitu : pendapatan bagihasil, mark-up (margin keuntungan), imbalan jasa pelayanan, sewa tempat penyimpanan harta (pada bank yang telah memenuhi syarat), dan biaya administrasi. Pada pendapatan bagihasil, besar-kecilnya pendapatan tergantung kepada pilihan yang tepat dari jenis usaha yang dibiayai. Memberikan porsi bagihasil yang lebih besar kepada mudharib akan memotivasi mudharib untuk lebih giat berusaha demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu porsi 50 : 50 dipandang cukup adil. Lain halnya pada pendapatan mark-up, pilihan terletak pada apakah ingin sekaligus untung besar per transaksi tetapi menjadi mahal dan tidak laku atau keuntungan per transaksi kecil tetapi dengan volume yang besar karena murah dan laku keras. Pendapatan bank dapat dioptimalkan dengan mengambil kebijakan keuntungan kecil per transaksi untuk memperbanyak jumlah transaksi yang dibiayai.
Pada penyaluran dana kepada masyarakat, sebagian besar pembiayaan bank disalurkan dalam bentuk barang/jasa yang dibelikan bank untuk nasabahnya. Dengan demikian pembiayaan hanya diberikan apabila barang/jasanya telah ada terlebih dahulu. Dengan metode ada barang dulu, baru ada uang maka masyarakat dipacu untuk memproduksi barang/jasa atau mengadakan barang/jasa. Selanjutnya barang yang dibeli/diad akan menjadi jaminan (collateral) hutang.
B. Berbagai jenis pembiayaan.
(a). Pembiayaan Musyarakah, yaitu pembiayaan sebagian kebutuhan modal pada suatu usaha untuk jangka waktu terbatas sesuai kesepakatan. Hasil usaha bersih dibagi antara bank sebagai penyandang dana (shohibul maal) dengan pengelola usaha (mudharib) sesuai dengan kesepakatan. Umumnya porsi bagihasil ditetapkan sesuai dengan prosentasi kontribusi masing-masing. Pada akhir jangka waktu pembiayaan, dana pembiayaan dikembalikan kepada bank.
(b). Pembiayaan Mudharabah, yaitu pembiayaan seluruh kebutuhan modal pada suatu usaha untuk jangka waktu terbatas sesuai kesepakatan. Hasil usaha bersih dibagi antara bank sebagai penyandang dana (shohibul maal) dengan pengelola usaha (mudharib) sesuai dengan kesepakatan. Umumnya porsi bagihasil ditetapkan bagi mudharib lebih besar daripada shohibul maal. Pada akhir jangka waktu pembiayaan, dana pembiayaan dikembalikan kepada bank.
©. Pembiayaan Murabaha, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang/jasa dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya ditambah marjin keuntungan bank pada waktu jatuh tempo. Bank memperoleh marjin keuntungan berupa selisih harga beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah.
(d). Pembiayaan Baiu Bithaman Ajil, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang/jasa dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut ditambah marjin keutungan bank secara menyicil sampai lunas dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Bank memperoleh marjin keuntungan berupa selisih harga beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah.
(e). Pembiayaan Ijarah, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk memiliki suatu barang/jasa dengan kewajiban menyewa barang tersebut sampai jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Pada akhir jangka waktu tersebut pemilikan barang dihibahkan dari bank kepada nasabah. Bank memperoleh marjin keuntungan berupa selisih harga beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah.
Catatan : pada pembiayaan murabaha, baiu bithaman ajil, dan ijarah, ada yang disebut harga beli bank yaitu harga yang terbaik bagi nasabah yang dibayar bank dari pemasok kemudian ada harga jual bank yaitu harga jual yang harus dibayar atau disewa oleh nasabah. Harga jual bank harus dapat menutup pengeluaran untuk : (1) harga beli bank tersebut diatas, dan (2) biaya usaha, ditambah (3) keuntungan yang wajar. Biaya usaha adalah perkiraan seluruh pengeluaran bank dalam satu tahun dibagi perkiraan seluruh jumlah transaksi sedangkan keuntungan yang wajar adalah keuntungan yang disesuaikan dengan kemampuan nasabah secara fleksibel.
(f). Pembiayaan Ar-rahan, yaitu pembiayaan berupa pinjaman dana tunai dengan jaminan barang bergerak yang relatif nilainya tetap seperti perhiasan emas, perak, intan, berlian, batu mulia, dll. untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Nasabah diwajibkan membayar kembali hutangnya pada saat jatuh tempo dan membayar sewa tempat penyimpanan barang jaminannya. Bank memperoleh pendapatan berupa sewa tempat penyimpanan barang jaminan.
(g). Pembiayaan Qardhul Hassan, yaitu pembiayaan berupa pinjaman tanpa dibebani biaya apapun bagi kaum dhuafa yang merupakan asnaf zakat/infaq/shadaqah dan ingin mulai berusaha kecil-kecilan. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan pinjaman pokoknya saja pada waktu jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan dengan membayar biaya-biaya administrasi yang diperlukan (seperti : bea meterai, biaya notaris, dll.). Nasabah yang berhasil dianjurkan membayar zakat/infaq/ shadaqah untuk memperkuat dana Qardhul Hassan. Bank memperoleh pengembalian biaya administrasi dan menampung zakat/infaq/shadaqah dari nasabah yang berhasil usahanya.
Dari ketujuh jenis pembiayaan tersebut diatas dapat dicatat beberapa manfaat sebagai berikut :
· Akses masyarakat kepada jenis pembiayaan mudharabah dan musyarakah ini sangat besar karena tidak ada beban bunga dan jaminan hutang yang harus diperhitungkan. Sedangkan pada jenis pembiayaan murabaha dan baiu bithaman ajil, arus barang diperlancar sehingga secara otomatis pasokan uang selalu diimbangi dengan pasokan barang/jasa.
· Pembiayaan Ijarah mirip dengan leasing atau sewa guna usaha. Di Indonesia usaha leasing memerlukan izin usaha tersendiri terlepas dari usaha perbankan. Namun demikian ijarah adalah usaha yang lazimnya ada pada perbankan dengan sistem bagihasil sehingga mungkin masih dapat ditampung dalam ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 6 ayat n[1]. Akses masyarakat kepada pembiayaan ijarahpun sangat besar.
· Pembiayaan Ar-rahan mirip dengan pinjaman gadai. Di Indonesia pinjaman atas dasar hukum gadai yang hingga saat ini hanya boleh dilakukan (monopoli) Perum Pegadaian. Namun dengan terbukanya Indonesia dalam kerangka globalisasi kemungkinan ar-rahan yang merupakan usaha yang lazim ada pada perbankan dengan sistem bagihasil, kemungkinan monopoli Perum Pegadaian tidak dapat dipertahankan. Pelayanan untuk pembiayaan Ar-rahan mudah dan cepat sehingga akses kepada berbagai lapisan masyarakat besar sekali.
· Pembiayaan Qardhul Hassan memang dirancang untuk kaum dhuafa penerima zakat/infaq/shadaqah (asnaf) yang ingin memulai usaha kecil-kecilan, sehingga pembiayaan ini dapat membantu program pengentasan kemiskinan.
Selain dari tujuh jenis pembiayaan utama tersebut diatas, perbankan dengan sistem bagi hasil juga menyelenggarakan pelayanan-pelayanan sebagaimana yang dilakukan perbankan konvensional pada umumnya. Jenis-jenis pelayanan yang lazim diselenggarakan oleh perbankan dengan sistem bagi hasil antara lain adalah :
(a). Al-Kafalah, yaitu pemberian jaminan oleh bank sebagai penanggung (kafil) kepada pihak ketiga atas kewajiban pihak kedua (yang ditanggung). Atas pemberian jaminan ini bank memperoleh fee.
(b). Al-Hiwalah, yaitu jasa pengalihan tanggung jawab pembayaran hutang dari seseorang yang berhutang kepada orang lain. Contoh : Tuan A karena transaksi perdagangan berhutang kepada tuan C. Tuan A mempunyai simpanan di bank, maka atas permintaan tuan A, bank dapat melakukan pemindah bukuan dana pada rekening tuan A untuk keuntungan rekening B. Atas jasa pengalihan hutang ini bank memperoleh fee.
©. Al-Joalah, yaitu jasa pelayanan pesanan/permintaan tertentu dari nasabah misalnya untuk memesan tiket pesawat atau barang dengan mempergunakan kartu kredit/cek/transfer. Atas jasa pelayanan ini bank memperoleh fee.
(d). Al-Wakalah, yaitu jasa melakukan tindakan/pekerjaan mewakili nasabah sebagai pemberi kuasa. Untuk mewakili nasabah melakukan tindakan/pekerjaan tersebut nasabah diminta untuk mendepositokan dana secukupnya. Contoh : pembukaan L/C oleh bank atas nama nasabah. Untuk menerima kuasa mewakili nasabah melakukan tindakan/pekerjaan ini, bank memperoleh fee.
[1] Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, halaman 10.
0 comments:
Post a Comment