ISTILAH PRINSIP SYARIAH.
Istilah Prinsip Syariah baru pertamakali diperkenalkan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. Istilah Prinsip Syariah terdapat pada : Pasal 1 Ayat 3, Ayat 4, Ayat 13, Ayat 13, Ayat 18, dan Ayat 23; Pasal 6 huruf m; Pasal 7 huruf c; Pasal 8 Ayat (1) dan Ayat (2); Pasal 11 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (4A); Pasal 13 huruf c; Pasal 29 Ayat (3); dan Pasal 37 Ayat (1) huruf c.
Mengenai apa yang dimaksud dengan Prinsip Syariah dijelaskan pada Pasal 1 Ayat 13, yang berbunyi :
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk menyimpan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prisip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank pleh pihak lain (ijarah wa iqtina):
ISTILAH BAGI HASIL.
Istilah bagi hasil dalam sistem perbankan Indonesia telah diperkenalkan untuk pertama kalinya pada Undang‑undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Istilah bagi hasil dalam undang‑undang tersebut terdapat pada :
1. Pasal 1 ayat 12, yang bunyinya :
“ Kredit adalah penyediaan uang atas tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan tujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan “.
Pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 11 istilah kredit hanya untuk bank umum dan bank perkreditan rakyat yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional; sedangkan untuk bank umum dan bank perkreditan rakyat yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah terdapat pada Pasal 1 Ayat 12 istilah yang dipakai adalah pembiayaan. Pada Pasal 1 Ayat 12 tersebut bunyinya menjadi :
" Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan inbalan atau bagi hasil.
2. Pasal 6, usaha Bank umum meliputi a s/t l, dan m yang bunyinya :
“ menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah “.
Pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Pasal 6 huruf k dihapus, kemudian Pasal 6 huruf m dirubah menjadi berbunyi :
"m. menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ."
Pasal 13, usaha Bank Perkreditan Rakyak meliputi a s/t b, dan a yang bunyinya :
“ menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah “.
Pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Pasal 13 huruf c dirubah menjadi berbunyi :
"c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ".
KEHARUSAN MEMILIH SALAH SATU SAJA KEGIATAN USAHA.
Apabila dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1994 tentang Bank Perkreditan Rakyat terdapat ketentuan tentang keharusan memilih salah satu kegiatan usaha yaitu pada : Pasal ; ayat (3), yang bunyinya :
“ Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerja harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata‑mata berdasarkan prinsip bagi hasil “, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1994 tentang Bank Perkreditan Rakyat Pasal = ayat (2), yang bunyinya :
“ Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil harus secara tegas mencantumkan kegiatan uhasa bank yang semata‑mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerjanya “;
maka dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, keharusan memilih salah satu kegiatan usaha tersebut diperlonggar sebagimana dapat diperiksa pada Penjelasan Umum alinea ke-7, yang berbunyi :
" Sementara itu, peranan Bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah perlu ditingkatkan untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, Undang-undang ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan Bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada Bank Umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah.
PERTIMBANGAN PERLUNYA BANK BERDASARKAN PRINSIP BAGI HASIL.
Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, diperoleh pen-jelasan dan ketentuan‑ketentuan antara lain sebagai berikut :
1. Bahwa untuk dapat meningkatkan pelayanan jasa perbankan kepada masyarakat, perlu dikembangkan kegiatan usaha bank yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat;
2. Bahwa penyediaan jasa perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil merupakan pelayanan jasa perbankan yang dibutuhkan masyarakat;
3. Bahwa dalam rangka mengerahkan seluruh potensi masyarakat guna menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dan sejalan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan jasa bank, maka pelayanan jasa bank berdasarkan prinsip bagi hasil perlu dikembangkan dan ditingkatkan;
PENGERTIAN BAGI HASIL.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan belum menjelaskan pengertian bagihasil dan pengertian bagihasil itu dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 Tentang Bank Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 Tentang Bank Perkreditan Rakyat juga tidak menjelaskan tentang pengertian bagihasil. Baru pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagihasil terdapat keterangan pada Pasal 2 sebagai berikut :
Prinsip bagihasil dimaksud adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariat dalam melakukan kegiatan usaha bank, seperti dalam hal :
1. Memberikan dan menerima imbalan.
a. menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;
b. menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja;
c. menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil;
2. Pengertian bagi hasil dalam penyediaan dana dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam butir 4.b., termasuk pula kegiatan usaha jual beli;
DEWAN PENGAWAS SYARIAH.
Selanjutnya untuk meyakini bahwa dalam melakukan kegiatan usaha bank itu sesuai dengan syariat Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagihasil menggariskan ketentuan sebagai berikut :
1. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang mempunyai tugas melakukan pengawasan atas produk perbankan dalam menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar sejalan dengan prinsip syariat;
2. Pembentukan Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Bank yang bersangkutan berdasarkan konsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia ;
3. Dalam melakukan tugasnya, Dewan Pengawas Syariah berkonsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia dimaksud butir 2;
LARANGAN MELAKUKAN DUA JENIS KEGIATAN USAHA.
Apabila dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1994 tentang Bank Perkreditan Rakyat terdapat ketentuan tentang larangan melakukan dua jenis kegiatan usaha, yaitu :
1. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata‑mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil;
2. Sebaliknya, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil;
maka pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, ketentuan tersebut sesuai dengan bunyi Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut hanya berlaku bagi Bank Umum ditingkat kantor cabang sedang untuk Bank Perkreditan Rakyat ketentuan larangan tersebut masih berlaku.
CIRI OPERASIONAL BANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAT DI INDONESIA
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN.
01. Dibina dan diawasi oleh Bank Indonesia sebagaimana hal yang sama juga dilakukan terhadap bank konvensional.
KESELARASAN DENGAN UNDANG-UNDANG PERBANKAN.
02. Azas, fungsi, dan tujuan bank berdasarkan syariat selalu sejalan dengan azas, fungsi, dan tujuan bank sebagaimana yang diatur dalan Undang‑undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
IKATAN EMOSIONAL DAN PERANAN ULAMA.
03. Bank syariah mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat Islam disekitarnya. Faktor ulama mempunyai peranan yang besar dalam menunjang keberhasilan suatu bank syariah.
DEWAN PENGAWAS SYARIAH DAN FUNGSINYA.
4. Ada lembaga Dewan Pengawas Syariah yang mempunyai dua fungsi utama, yaitu :
a. mengawasi operasional bank syariah agar tidak menyimpang dari ajaran agama,
b. memelihara ahlak dan moral para pengelola bank syariah dan para nasabahnya, sehingga terbina ikatan emosional yang kuat antara bank dengan masyarakat Islam disekitarnya.
maka baik dari sisi pengerahan dana masyarakat maupun dari sisi penyaluran dana kepada masyarakat akan berjalan dengan baik dan sejalan dengan prinsip syariat.
KELEBIHAN LIKWIDITAS.
05. Pada awal berdirinya bank syariah, karena ikatan emosional telah terbina dengan baik oleh para ulama setempat, bank syariah akan dibanjiri para calon pemegang saham dan para penyimpan dana yang mengaharapkan berkah dari investasinya. Akibatnya kelebihan likwiditas adalah merupakan gejala yang normal terjadi pada bank syariah.
KEBERSAMAAN DALAM MEMIKUL RISIKO DAN BERBAGI HASIL.
06. Baik dari sisi pengerahan dana maupun dari sisi penyaluran dana kepada masyarakat azas kebersamaan merupakan dasar utama operasi bank syariah sehingga ada peluang negosiasi.
PRODUK-PRODUK.
7. Pada sisi pengerahan dana masyarakat pada Bank Umum Syariat, akan ada produk‑produk :
a. Giro Wadiah atau titipan amanah yang atas izin pemilik dapat dikelola bank dengan diberikan bonus,
b. Tabungan Mudharabah atau simpanan bagi hasil dari usaha bank yang besarnya nisbah ditetapkan bank sebagai mudharib dan
c. Deposito Mudharabah atau deposito bagi hasil dari usaha bank yang besarnya nisbah ditetapkan bank sebagai mudharib dan
Pada BPR, sesuai ketentuan tidak ada produk Giro Wadiah.
08. Pada sisi penyaluran dana kepada masyarakat pada Bank Umum Syariat dan pada Bank Prekreditan Rakyat akan terdapat produk‑produk :
a. Fasilitas pembiayaan bagi hasil, terdiri dari :
Fasilitas pembiayaan Mudharabah, dan
Fasilitas pembiayaan Musyarakah.
b. Fasilitas pembiayaan pengadaan barang modal, terdiri dari :
Fasilitas pembiayaan Murabaha, dan
Fasilitas pembiayaan Baiu Bithaman Ajil.
c. Fasilitas pembiayaan atas dasar sewa-beli (ijarah) dan jaminan gadai.
d. Fasilitas jasa perbankan lainnya seperti pemberian jaminan (al‑kafalah), pengalihan tagihan (al‑hiwalah), pelayanan khusus (al‑jo’alah), pembukaan L/C (al‑wakalah ), dll.
e. Fasilitas pembiayaan “pinjaman kebajikan” (qardhul hassan ) bagi mereka yang memenuhi syarat.
DAYA JANGKAU DAN KEMAMPUAN PENETRASI.
9. Daya jangkau dan penetrasi bank ini sangat luas sehingga professionalisme dalam menerapkan prinsip kehati‑hatian merupakan faktor yang sangat penting. Luasnya daya jangkau dan besarnya kemampuan penetrasi bank syariah adalah karena tidak adanya sifat diskriminatif yang melekat pada bank syariah. Siapa saja nasabah yang usulan proyeknya benar-benar layak dapat dibiayai.
FASILITAS YANG IDEAL DAN YANG PRIMADONA.
10. Fasilitas pembiayaan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) merupakan fasilitas yang ideal bagi masyarakat, namun karena risikonya yang cukup besar lalu memerlukan persayaratan yang lebih ketat. Fasilitas yang merupakan primadona pada kebanyakan bank syariah adalah murabaha dan baiu bithaman ajil. Namun fasilitas pembiayaan bagi hasil harus terus diupayakan penyalurannya.
PENDAPATAN BANK SYARIAH.
11. Pendapatan bank syariah akan berupa :
a. bagian bagi hasil yang diperoleh dari penggunaan fasilitas pembiayaan bagi hasil mudharabah dan musyarakah,
b. mark‑up atau margin keuntungan dari penggunaan fasilitas pembiayaan pengadaan barang modal murabaha dan baiu bithaman ajil,
c. sewa yang diperoleh dari fasilitas sewa-beli dan jaminan gadai.
d. fee yang diperoleh dari penggunaan jasa‑jasa yang tersedia pada bank syariah,
e. biaya administrasi dari penggunaan fasilitas pembiayaan kebajikan.
Seluruh pendapatan ini sebelum dikurangi dengan biaya overhead dan pajak terlebih dahulu dibagi‑hasilkan dengan penyimpan dana (deposito dan tabungan) sesuai dengan porsi (nisbah) bagi hasil yang telah disepakati sebelumnya.
TRANSPARANSI BANK SYARIAH.
12. Bagi hasil dari usaha bank syariah yang dibagikan kepada para penyimpan dana pada awal‑awal berdirinya mungkin secara prosentase belum setinggi tingat bunga deposito bank konvensional. Untuk dapat tetap bersaing secara ekonomis, tidak ada halangannya bagi bank syariah untuk secara suka rela menyerahkan sebagian porsi bagi hasilnya untuk memperbesar porsi bagi hasil penyimpan dana. Penyerahan sebagian porsi bagi hasil bank untuk memperbesar porsi bagi hasil penyimpan dana tidak boleh menjadi beban nasabah disisi penyaluran dana. Sebaliknya apabila tingkat bunga deposito bank konvensional turun, bank syariah tidak diperkenankan mengurangi porsi bagi hasil penyimpan dana. Praktek menyesuai -kan dengan tingkat bunga konvensional ini akan mengakibatkan hilangnya tranparansi yang menjadi ciri khas yang melekat pada bank syariah.
SISTEM PEMBUKUAN BERBASIS TUNAI.
13. Dalam pembukuan bank syariah hanya mengenal penerimaan dan pengeluaran yang benar‑benar terjadi saja. Oleh kerena itu sistem yang lazim dipergunakan bank syariah sistem pembukuan yang berbasis tunai (cash basis).
PENYELESAIAN PEMBIAYAAN BERMASALAH.
14. Sebagai konsekwensi dari sistem pembukuan berbasis tunai (cash basis), maka setiap ada gejala kesulitan yang dihadapi nasabah pemakai fasilitas pembiayaan bank syariah, harus segera disettle (diselesaikan) dengan cara yang sesuai dengan prinsip syariat, yaitu :
One. dibuatkan perjanjian baru tanpa tambahan biaya,
Two. diberi pinjaman baru dari pos pembiayaan kebajikan (al‑qardhul hassan),
Three. ditutup hutangnya dari hibah zakat, infaq, shadaqah,
Four. ditutup hutangnya dari hasil sita jaminan,
ditutup hutangnya dengan penyertaan sementara oleh bank syariat yang telah memenuhi syarat.
0 comments:
Post a Comment